Banyak pendapat dari para ahli yang mengatakan bahwa pria yang tidak sunat memiliki risiko tinggi menderita penyakit pada alat vitalnya tersebut, seperti kanker, risiko lebih tinggi tertular infeksi HIV/AIDS dan risiko-risiko penyakit lainnya.
Terlepas dari keyakinan ajaran suatu agama tertentu, sunat memang memiliki manfaat-manfaat bagi kesehatan. Namun apakah pria yang tidak disunat adalah tidak sehat dan berisiko terkena penyakit?
Berikut sebuah artikel yang berhasil penulis peroleh dari konsultasi kesehatan kompas.com, yang menyebutkan bahwa sebenarnya pria yang tidak sunat tidak akan berisiko terkena penyakit pada alat kelamin asalkan dengan syarat yang harus dilakukan. Tertarik dengan artikel tersebut? Berikut penulis kutip artikel tersebut.
Pada tahun 2007 WHO dan UNAIDS menyelenggarakan konsultasi pakar internasional yang menyatakan bahwa sunat bisa melindungi dari AIDS. Selain itu sunat juga penting untuk kebersihan dan kesehatan penis, dan dapat melindungi dari kanker penis atau kanker mulut rahim, sehingga WHO dan UNAIDS menganggap sunat benar-benar perlu dilakukan dan kemudian merekomendasikan bahwa “sunat pada laki-laki harus diakui sebagai suatu intervensi penting tambahan untuk mengurangi risiko infeksi tertular HIV”.
Tetapi, tampaknya mereka lupa bahwa studi yang dilakukan oleh UNAIDS sebagian besar di Afrika di mana kejadian HIV tinggi, sebagian besar pria tidak disunat, dan penularan terutama melalui hubungan hetersoseksual. Karena itu The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat telah mengeluarkan pernyataan bahwa sirkumsisi tidak mengurangi risiko penularan HIV di antara kelompok homoseksual. CDC juga menyatakan bahwa keputusan untuk merekomendasikan sirkumsisi sebagai tindakan resmi untuk pencegahan HIV masih belum final
Bahkan muncul pula artikel di Jurnal of Urology April 2005 yang menyebutkan bahwa sunat mengurangi kepuasan seksual karena ketika kulit penutup kepala penis (preputium) dipotong berarti banyak serabut saraf sensoris yang sangat peka rangsangan seksual ikut hilang terbuang.
Dari segi kesehatan, hanya pada keadaan phimosis yang merupakan keharusan dilakukan sunat. Masalahnya, pada keadaan phimosis, di mana preputium tidak dapat ditarik ke belakang, terjadi penumpukan bahan kelenjar yang disebut smegma. Penumpukan ini dapat mengakibatkan infeksi penis, bahkan kanker. Tetapi kalau preputium dapat dibuka sehingga kepala penis dapat dibersihkan setiap saat, maka urusan kebersihan bukan menjadi masalah.
jadi sebenarnya hubungan antara infeksi dan kanker pada penis tidak otomatis akan terjadi pada pria yang tidak sunat. Karena pria yang tidak sunat sebenarnya dapat terhindar dari penyakit pada alat kelaminnya ini asalkan setiap saat selalu menjaga kebersihan alat kelaminnya ini.
Terlepas dari keyakinan ajaran suatu agama tertentu, sunat memang memiliki manfaat-manfaat bagi kesehatan. Namun apakah pria yang tidak disunat adalah tidak sehat dan berisiko terkena penyakit?
Berikut sebuah artikel yang berhasil penulis peroleh dari konsultasi kesehatan kompas.com, yang menyebutkan bahwa sebenarnya pria yang tidak sunat tidak akan berisiko terkena penyakit pada alat kelamin asalkan dengan syarat yang harus dilakukan. Tertarik dengan artikel tersebut? Berikut penulis kutip artikel tersebut.
Pada tahun 2007 WHO dan UNAIDS menyelenggarakan konsultasi pakar internasional yang menyatakan bahwa sunat bisa melindungi dari AIDS. Selain itu sunat juga penting untuk kebersihan dan kesehatan penis, dan dapat melindungi dari kanker penis atau kanker mulut rahim, sehingga WHO dan UNAIDS menganggap sunat benar-benar perlu dilakukan dan kemudian merekomendasikan bahwa “sunat pada laki-laki harus diakui sebagai suatu intervensi penting tambahan untuk mengurangi risiko infeksi tertular HIV”.
Tetapi, tampaknya mereka lupa bahwa studi yang dilakukan oleh UNAIDS sebagian besar di Afrika di mana kejadian HIV tinggi, sebagian besar pria tidak disunat, dan penularan terutama melalui hubungan hetersoseksual. Karena itu The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat telah mengeluarkan pernyataan bahwa sirkumsisi tidak mengurangi risiko penularan HIV di antara kelompok homoseksual. CDC juga menyatakan bahwa keputusan untuk merekomendasikan sirkumsisi sebagai tindakan resmi untuk pencegahan HIV masih belum final
Bahkan muncul pula artikel di Jurnal of Urology April 2005 yang menyebutkan bahwa sunat mengurangi kepuasan seksual karena ketika kulit penutup kepala penis (preputium) dipotong berarti banyak serabut saraf sensoris yang sangat peka rangsangan seksual ikut hilang terbuang.
Dari segi kesehatan, hanya pada keadaan phimosis yang merupakan keharusan dilakukan sunat. Masalahnya, pada keadaan phimosis, di mana preputium tidak dapat ditarik ke belakang, terjadi penumpukan bahan kelenjar yang disebut smegma. Penumpukan ini dapat mengakibatkan infeksi penis, bahkan kanker. Tetapi kalau preputium dapat dibuka sehingga kepala penis dapat dibersihkan setiap saat, maka urusan kebersihan bukan menjadi masalah.
jadi sebenarnya hubungan antara infeksi dan kanker pada penis tidak otomatis akan terjadi pada pria yang tidak sunat. Karena pria yang tidak sunat sebenarnya dapat terhindar dari penyakit pada alat kelaminnya ini asalkan setiap saat selalu menjaga kebersihan alat kelaminnya ini.
No comments:
Post a Comment