Pemeriksaan faktor Rhesus, terutama saat usia kehamilan masih muda, adalah salah satu cara penting mengurangi risiko keguguran berulang. Selain ibu hamil, calon ayah pun harus dilibatkan dalam pemeriksaan Rhesus.
Sebenarnya, waktu paling tepat untuk memeriksa faktor Rhesus (Rh) adalah sebelum kehamilan terjadi. Bahkan ada juga beberapa pasangan yang melakukannya sebelum mereka menikah. Mengapa hal ini menjadi begitu penting?
Setiap orang terlahir dengan golongan darah A, B, AB, atau O dan faktor Rh positif (+) atau negatif (-). Faktor Rh ini menggambarkan partikel protein dalam sel darah seseorang. Mereka yang memiliki Rh (-) berarti kekurangan protein dalam sel darah merahnya. Sebaliknya, jika Rh (+), berarti ia memiliki protein yang cukup.
Orang Asia dan Afrika umumnya (sekitar 90%) memiliki Rh (+), sedangkan orang Eropa dan Amerika kebanyakan memiliki Rh (-).
Masalah akan timbul jika ibu hamil memiliki Rh (-) sementara ayah Rh (+). Dalam kondisi seperti ini, si jabang bayi bisa saja memiliki darah dengan Rh (+) atau Rh (-). Namun, biasanya bayi akan mewarisi Rh (+) karena lebih bersifat dominan.
Lantaran janin mewarisi Rh yang berbeda dengan Rh ibunya, akan terjadi ketidakcocokan Rh bayi dengan ibu atau yang lazim disebut erythoblastosis foetalis.
Ketidakcocokan Rh
Ketidakcocokan atau inkompatibilitas Rh ini bisa berakibat kematian pada janin dan keguguran berulang. Inilah alasan mengapa pemeriksaan faktor Rh ibu dan ayah perlu dilakukan sedini mungkin agar inkompatibilitas yang mungkin muncul bisa ditangani segera.
Perbedaan Rh antara ibu dengan bayi membuat tubuh ibu memproduksi antirhesus untuk melindungi tubuh ibu sekaligus menyerang calon bayi. Rh darah janin akan masuk melalui plasenta menuju aliran darah ibu. Melalui plasenta itu juga, antirhesus yang diproduksi ibu akan menyerang si calon bayi. Antirhesus lalu akan menghancurkan sel-sel darah merah calon bayi.
Kerusakan sel darah merah bisa memicu kerusakan otak, bayi kuning, gagal jantung, dan anemia dalam kandungan maupun setelah lahir.
Kasus kehamilan dengan kelainan Rh ini lebih banyak ditemui pada orang-orang asing atau mereka yang memiliki garis keturunan asing, seperti Eropa dan Arab. Sementara di Indonesia sendiri, walaupun tidak banyak, kasus seperti ini kadang tetap ditemui.
Risiko Meningkat pada Kehamilan Kedua
Pada kehamilan pertama, antirhesus kemungkinan hanya akan menyebabkan bayi terlahir kuning. Hal ini lantaran proses pemecahan sel darah merah menghasilkan bilirubin yang menyebabkan warna kuning pada bayi.
Tetapi pada kehamilan kedua, risikonya lebih fatal. Antirhesus ibu akan semakin tinggi pada kehamilan kedua. Akibatnya, daya rusak terhadap sel darah merah bayi pun semakin tinggi dan ancaman kematian janin kian tinggi.
Penanganan Kehamilan dengan Kelainan Rh
Biasanya, langkah pertama yang dilakukan dokter adalah memastikan jenis Rh ibu dan melihat apakah antibodi telah tercipta. Jika antirhesus itu belum terbentuk, pada usia kehamilan 28 minggu dan 72 jam setelah persalinan, ibu akan diberi injeksi anti-D immunoglobulin (RhoGam).
Sebaliknya, jika antirhesus sudah tercipta, dokter akan melakukan penanganan khusus terhadap janin yang dikandung. Diantaranya, monitoring secara reguler dengan scanner ultrasonografi. Dokter akan memantau masalah pada pernafasan dan peredaran darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati yang merupakan gejala-gejala akibat rendahnya sel darah merah.
Sumber: http://www.inspiredkidsmagazine.com
Sebenarnya, waktu paling tepat untuk memeriksa faktor Rhesus (Rh) adalah sebelum kehamilan terjadi. Bahkan ada juga beberapa pasangan yang melakukannya sebelum mereka menikah. Mengapa hal ini menjadi begitu penting?
Setiap orang terlahir dengan golongan darah A, B, AB, atau O dan faktor Rh positif (+) atau negatif (-). Faktor Rh ini menggambarkan partikel protein dalam sel darah seseorang. Mereka yang memiliki Rh (-) berarti kekurangan protein dalam sel darah merahnya. Sebaliknya, jika Rh (+), berarti ia memiliki protein yang cukup.
Orang Asia dan Afrika umumnya (sekitar 90%) memiliki Rh (+), sedangkan orang Eropa dan Amerika kebanyakan memiliki Rh (-).
Masalah akan timbul jika ibu hamil memiliki Rh (-) sementara ayah Rh (+). Dalam kondisi seperti ini, si jabang bayi bisa saja memiliki darah dengan Rh (+) atau Rh (-). Namun, biasanya bayi akan mewarisi Rh (+) karena lebih bersifat dominan.
Lantaran janin mewarisi Rh yang berbeda dengan Rh ibunya, akan terjadi ketidakcocokan Rh bayi dengan ibu atau yang lazim disebut erythoblastosis foetalis.
Ketidakcocokan Rh
Ketidakcocokan atau inkompatibilitas Rh ini bisa berakibat kematian pada janin dan keguguran berulang. Inilah alasan mengapa pemeriksaan faktor Rh ibu dan ayah perlu dilakukan sedini mungkin agar inkompatibilitas yang mungkin muncul bisa ditangani segera.
Perbedaan Rh antara ibu dengan bayi membuat tubuh ibu memproduksi antirhesus untuk melindungi tubuh ibu sekaligus menyerang calon bayi. Rh darah janin akan masuk melalui plasenta menuju aliran darah ibu. Melalui plasenta itu juga, antirhesus yang diproduksi ibu akan menyerang si calon bayi. Antirhesus lalu akan menghancurkan sel-sel darah merah calon bayi.
Kerusakan sel darah merah bisa memicu kerusakan otak, bayi kuning, gagal jantung, dan anemia dalam kandungan maupun setelah lahir.
Kasus kehamilan dengan kelainan Rh ini lebih banyak ditemui pada orang-orang asing atau mereka yang memiliki garis keturunan asing, seperti Eropa dan Arab. Sementara di Indonesia sendiri, walaupun tidak banyak, kasus seperti ini kadang tetap ditemui.
Risiko Meningkat pada Kehamilan Kedua
Pada kehamilan pertama, antirhesus kemungkinan hanya akan menyebabkan bayi terlahir kuning. Hal ini lantaran proses pemecahan sel darah merah menghasilkan bilirubin yang menyebabkan warna kuning pada bayi.
Tetapi pada kehamilan kedua, risikonya lebih fatal. Antirhesus ibu akan semakin tinggi pada kehamilan kedua. Akibatnya, daya rusak terhadap sel darah merah bayi pun semakin tinggi dan ancaman kematian janin kian tinggi.
Penanganan Kehamilan dengan Kelainan Rh
Biasanya, langkah pertama yang dilakukan dokter adalah memastikan jenis Rh ibu dan melihat apakah antibodi telah tercipta. Jika antirhesus itu belum terbentuk, pada usia kehamilan 28 minggu dan 72 jam setelah persalinan, ibu akan diberi injeksi anti-D immunoglobulin (RhoGam).
Sebaliknya, jika antirhesus sudah tercipta, dokter akan melakukan penanganan khusus terhadap janin yang dikandung. Diantaranya, monitoring secara reguler dengan scanner ultrasonografi. Dokter akan memantau masalah pada pernafasan dan peredaran darah, cairan paru-paru, atau pembesaran hati yang merupakan gejala-gejala akibat rendahnya sel darah merah.
Sumber: http://www.inspiredkidsmagazine.com
No comments:
Post a Comment